Jumat, 17 Juni 2011

Belajar dari Maryati Simbolon

Tegar meski Diragukan hingga Dikasihani

Tak mau berpangku tangan, Maryati Simbolon belajar menambal ban dari suaminya. Terutama ketika lelaki itu pergi atau tengah istirahat. Ini semua ia jalani dengan tanpa banyak mengeluh dan ia anggap sebagai perjuangan dalam mengarungi kerasnya kehidupan.
Maryati Simbolon
Arus lalu lintas di pertigaan Jalan Sam Ratulangi di belakang Korem 043 Gatam yang menuju RSUD dr. Hi. Abdul Moeloek (RSUDAM) seperti biasa, macet. Selain mobil hendak keluar-masuk, banyak angkot yang ngetem. Baik jurusan Tanjungkarang-Ratulangi, Tanjungkarang-Wayhalim, dan Tanjungkarang-Rajabasa.
Di sudut jalan, seorang perempuan terlihat sibuk melepaskan ban sepeda motor yang pecah. Jari-jari tangannya yang lentik dengan cekatan mencari di mana titik yang bocor. Ban ia isi dengan angin, lalu ia rendam dalam ember berisi air.
Tak lama keluar gelembung udara dari air, pertanda di sisi itulah letak kebocorannya. Ia lalu mengambil sebatang korek api dan memasukkannya ke dalam lubang.
Ia kemudian mengambil potongan karet hitam yang sudah dilapisi lem dan menempelkannya ke ban. Setelah itu, ia mengambil alat pemanas dan meletakkan ban tadi ke tengah-tengah serta menjepitnya. Di bawahnya, ia hidupkan api dari spritus.
Ketika api padam, ia mengambil ban dan merendamnya ke dalam air. Kemudian baru ia pasang lagi ban di sepeda motor itu. Selesai mengisi angin, tuntaslah pekerjaannya. Sambil menyeka keringat yang mengalir di pelipis, ia menghampiri Radar Lampung.
Dengan senyumnya yang khas, perempuan yang memakai celana pendek dan kaus warna merah ini lalu menceritakan kepindahannya ke Lampung dari Sumatera Utara enam bulan lalu. ’’Iya, saya bantu-bantu suami dengan menambal ban,” ujar perempuan yang belakangan diketahui Maryati Simbolon ini.   
    Ia biasanya menggantikan suaminya ketika lelaki itu mengantar barang dagangan ke rumah saudara atau sedang istirahat. ’’Lumayan, daripada menganggur. Cuma jaga warung atau menambah angin saya juga bisa. Saya kasihan saja, karena suami nggak ada, orang-orang yang bannya bocor jadi mendorong kendaraannya untuk mencari tukang tambal ban lain,” ungkapnya.
    Tak banyak waktu yang ia butuhkan untuk belajar. Hanya sebulan, ia pun sudah terampil menambal. Tak ada kendala yang berarti. Hanya jika posisi ban dalam sudah terlalu masuk karena terlindas pelek, ia jadi kesulitan membuka. Bahkan karena tidak hati-hati, ia sampai pernah merusak ban dalam. ’’Sekarang sudah biasa,” ujarnya sambil tertawa.
Ia mengakui karena dirinya perempuan, banyak lelaki yang ragu atau kasihan setiap mau menambal ban. ’’Kata mereka, ’Kalau ibu yang mengerjakan, saya nggak tega. Masak perempuan yang mengerjakannya, sementara saya duduk melihat’,” ceritanya. Tetapi, ia tak peduli. Ini semua ia anggap sebagai perjuangan menghadapi kerasnya kehidupan.
Bantu Perekonomian Keluarga
SAAT ini, banyak pekerjaan yang identik dengan kaum Adam yang juga dilakukan perempuan. Seperti yang dilakukan Maryati Simbolon. Pekerjaan sebagai penambal ban pun ia lakukan demi membantu perekonomian keluarganya. 
Kontrakan yang mahal, sementara kebutuhan terus meningkat, membuat dia mau tidak mau harus melakukannya. ’’Hidup di kota kan biayanya besar. Menyewa tempat ini saja setahunnya Rp9 juta. Sementara saya dan suami mengandalkan penghasilan dari bengkel,” ujarnya.
Perempuan yang berulang tahun pada 25 Maret ini mengungkapkan, setiap harinya tidak banyak yang menambal ban. Rata-rata hanya 3-4 orang, dengan biaya Rp5 ribu untuk satu lubang yang bocor. ’’Dan ini tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, makanya buka setiap hari pukul 05.30  sampai 23.30. Saya gantian dengan suami,” tuturnya.
Ia awalnya hendak buka salon begitu sampai di Lampung. Tetapi karena ia berpikir buka salon harus ada sertifikat kursus, sementara dirinya hanya tamat SD, ia mengurungkan niat. ’’Kalau di kampung saya, di Desa Sibolga, tidak perlu ijazah atau sertifikat sudah boleh buka salon, yang penting memiliki keahlian,” tutur ibu satu anak ini.
Pekerja Keras
Maryati Simbolon adalah sosok perempuan pekerja keras yang berbeda dengan perempuan lainnya. ’’Tidak semua perempuan mau melakukan pekerjaan berat ini. Tetapi dia tanpa menunggu suami, berinisiatif melakukannya sendiri,” ujar Rasip, teman karib Maryati.
    Warga Jalan Iman Bonjol Gang Boncel, Bandarlampung, ini yakin kalau ditawari pekerjaan menambal ban, pasti perempuan-perempuan akan menolak. Tetapi dengan ketabahan dan ketegarannya, Maryati tetap memutuskan menjalaninya.
    ’’Dan yang buat saya salut, dia tidak malu melakukannya. Padahal, banyak yang menatapnya dengan ragu atau rasa iba. Ia tetap saja melakukan pekerjaan yang identik dengan laki-laki ini,” imbuhnya. (cia/c1/dea)
About her
Nama     : Maryati Simbolon
TTL         : Labuhanbatu, Sumatera Utara, 25 Maret 1972
Alamat     : Jalan Sam Ratulangi, Penengahan, Tanjungkarang Barat
Aktivitas    : Penambal Ban
Suami     : Pandi Pandiangan
Anak         : Risma Martogi

Pendidikan :  
-    SDN 1775 Danau Toba, Sumatera Utara, 1979–1985
-    SMP Persiapan Aig Nagara Labuhanbatu 1985–1988

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons